Untukmu, pria
yang kubenci sejak 1 SD, namun begitu kucintai saat 2 SMA.
Boleh basa-basi sedikit? Sudah
berapa lama kita tidak bertemu? Bagaimana wujudmu saat ini? Masihkah pipimu
merah ketika cahaya matahari menyinari lembut pipimu? Masihkah rambutmu klimis ketika keringat membasahi tempurung kepalamu? Masihkah kamu membawa
saputangan untuk membasuh keringatmu? Apakah semua telah berbeda?
Untukmu, si unik dengan senyum fantasti.
Aku bertanya-tanya, bagaimana
sinar matamu saat ini? Masihkah sejuk dan beningnya seperti dulu? Seperti kala
kita membagi bekal bersama. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, aku dan
kamu malah duduk di bangku kelas, hanya berdua. Sambil mengunyah nasi yang
masih penuh di mulutmu, kaubercerita banyak hal padaku. Waktu itu, kaumasih bercita-cita ingin menjadi pilot, dan aku bercita-cita
ingin menjadi dokter, mengikuti keinginan ibuku. Mengingat kenangan memang
indah, mampu membuat seseorang tersenyum walaupun masa itu tak akan pernah
kembali.
Untukmu, seorang anak laki-laki yg mampu membuatku tersenyum
dengan boneka curianmu.
Dulu, saat pertama kali
bertemu, aku sangat membencimu. Aku benci ketika tahu aku berada dirangking tiga dan kamu berada dirangking dua, yang
saat itu aku berfikir akulah yang lebih hebat darimu!! Kenapa ingin mengejarku
dan langsung meleset masuk ke peringkat dua? Hey! Kau buatku benci dengan segala kehebatanmu yg menurutku itu biasa saja, aku benci
saat semua guru memujimu! Astaga Tuhan, siksaan apalagi
ini? Tapi, entah mengapa, ada titik dimana kita tak seperti musuh, ada saat di
mana kita tiba-tiba menjadi dekat, saat kau
menawariku boneka padahal aku tahu, boneka itu milik kakak perempuanmu.
Saat itu ketika kamu tiba-tiba pindah ikut orangtuamu,
aku merasa bahagia, aku merasa jadi orang terhebat di kelas. tidak ada lagi
kamu “anak kecil” yang selalu membuatku iri.
Untukmu pria yang tiba-tiba saja muncul saat kelas 2
SMA.
Aku masi ingat malam itu, saat kamu tiba-tiba menelponku,
hanya sekedar menanyakan kabarku, menanyakan sekolahku, menanyakan kabar
keluargaku. setelah hampir 7 tahun aku tak pernah mendengar suaramu, yah..
sejak kamu pindah ikut orangtuamu.
15 menit berlanjut suasana mulai mencair, kita mulai
bernostalgia kau bercerita tentang kisahmu dan aku bercerita tentang kisahku.
Waktu berlalu begitu cepat,
kamu tiba-tiba saja mengungkapkan perasaanmu, perasaan yang membuatku
tertawa, perasaan yang menurutku cocok di buat bercandaan, perasaan yang
menurutku itu tidak wajar, dan aku benci saat aku harus berkata ‘IYA’. Inilah aku,
aku dengan segala keanehanku, yang
selalu mengatasnamakan perasaan.
Untukmu, pria penyebab tangisku saat di bangku kuliah semesrer 2.
Kupandangi lagi foto-foto itu,
kuingat lagi kenangan-kenangan itu, kuingat lagi sosokmu.
Sudah beberapa lama sejak
peristiwa itu, saat pertengkaran hebat kita memuncak pada kata putus, saat
cekcok yang kita alami berujung pada kata pisah. Yang menurutmu
itu karna ke egoisanku, kamu selalu menganggap dirimu benar, kamu selalu
menganggap ini karna jarak.. iya jarak!
Pesan singkatmu masih saja mengisi inbox handphone-ku, kau tahu bagaimana perasaanku saat itu? Rasanya aku ingin membentakmu dengan
keras, rasanya aku ingin meronta pada ketidakadilan yang kamu tunjukkan padaku.
Kautahu? Sebenarnya aku masih
mencintaimu, sebenarnya tak ada yang lain yang bisa membuatku tersenyum, selain
kamu. Tapi, semua telah terjadi, kata
putus yang kau lontarkan dengan emosi kini menjadi sesal yang tak terganti.
Untukmu pria yang tak mungkin membaca tulisan ini.
Aku ingin kau tahu sekarang aku benar-benar bahagia,
bahagia bisa membuatmu merasakan apa yang pernah aku rasakan. Yah.. aku
menyebutnya karma. semoga kelak kamu sadar wanita itu bukan tempat untuk melampiaskan emosimu.
Dari mantanmu
yang kadangkala membasahi
selimut tidurnya
dengan air mata
yang terjatuh untukmu.